Memilukan! Diduga Dianiaya Guru, Siswa SDN Naikoten 2 Mengalami Kebutaan

Editor: Hetty author photo
Ilustrasi
Diduga dianiaya seorang guru, Brayen I P Jella Bing (9), mantan siswa Sekolah Dasar Negeri Naikoten 2 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur mengalami kebutaan permanen pada 13 November 2017 silam. Ironisnya, kedua saudaranya, Indra A P Jella Bing (11) dan Gobsy A F Jella Bing (7), juga diduga pernah dianiaya oleh dua guru. Namun pihak sekolah meminta maaf atas tindakan tersebut, sehingga langkah damai pun ditempuh.

"Waktu itu saya minta pihak sekolah membuat surat pernyataan, untuk ditandatangani bersama agar kedua guru itu tidak lagi mendidik anak-anak dengan kekerasan. Saat itu kepala sekolah menyanggupi namun tidak tidak dibuat hingga muncul kasus penganiayaan yang ketiga terhadap Brayen ini," ujar orangtua korban, Daud Jella Bing dilansir dari merdeka.com, Rabu (20/4).

Menurut Daud, dia memproses hukum kasus ini karena merupakan kejadian sama yang dialami oleh ketiga anaknya. Daud pun kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polsek Maulafa, dengan harapan bisa mendapatkan keadilan.Pada 14 November 2017 kepala sekolah bersama seorang guru yang diduga melakukan penganiayaan terhadap Brayen, datang ke rumah dan meminta kedua orangtuanya untuk mencabut laporan di Polsek Maulafa.

"Bukannya datang tanya kondisi kesehatan anak kami, malah memaksa kami orangtua untuk segera cabut laporan di Polsek Maulafa, setelah itu damai dan anak-anak sekolah dengan tenang.

Daud menceritakan, bukan hanya pihak sekolah namun pengawas, utusan Dinas PPO Kota Kupang, Kabid Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas PPO hingga Kepala Dinas PPO pun menemui mereka untuk meminta mencabut laporan polisi.

"Kasus penganiayaan yang ketiga ini adalah yang terberat dan terparah, karena anak kami Brayen mengalami bengkak pada kepala bagian belakang kiri serta kanan, dan mata kiri bekas operasi yang masih harus dirawat lebih lanjut, mengalami kebutaan total sampai saat ini," ungkapnya di Kantor P2TP2A NTT.

Lebih mirisnya, pada 25 November 2017, kepala sekolah mengeluarkan Brayen dan kedua adiknya dari sekolah. Padahal sementara mempersiapkan diri untuk ujian karena data Dapodik telah dikirim ke Kementerian Pendidikan.

"Tanggal 26 November seorang pengacara katanya utusan dari Kementerian datang temui kami orang tua. Dia datang bermaksud untuk menarik surat merumahkan anak yang kami dapatkan dari kepala sekolah, dengan alasan mau dibawa menghadap kepala dinas PPO Kota Kupang. Namun kami tidak mau menyerahkan surat itu," ujarnya.

Tidak sampai di situ, 8 Desember 2017 kepala sekolah kembali datang ke rumah dan menemui ibu korban lalu mengumpat kalimat dirinya tidak peduli dengan siapa saja, bahkan wali kota sekali pun sehingga biarkan hukum yang berbicara.

Dia juga berkata kepada ibu korban, bahwa para korban masih kecil-kecil berbeda dengan anak-anaknya yang telah besar dan mempunyai pekerjaan sendiri, salah satunya adalah anggota Polri sehingga tidak takut siapa pun.

"Dia omong di istri saya begini, ibu bapak lihat saya baik-baik saya adalah seorang pemimpin saya tidak tidak takut dan peduli siapa pun. Karena saya sudah dapat signal dari pimpinan yang paling tinggi yaitu PGRI dan satu hal yang ibu harus paham, bahwa yang kepala sekolah di sini adalah saya bukan wali kota jadi biar hukum yang berbicara," cerita Daud menirukan perkataan kepala sekolah.

Karena tidak menemui jalan keluar agar anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Naikoten 2 Kota Kupang, Daud kemudian memberanikan diri menghadap Wali kota Kupang, Jefri Riwu Kore.

Pada 2 Desember 2017 mereka mendapat surat panggilan mengikuti ujian semester I, setelah mengikuti ujian, ketiga anaknya kembali dirumahkan. Bahkan kepala sinas PPO dan kepala sekolah mengabaikan memo Walikota Kupang, yang isinya agar ketiga anak Daud kembali mengikuti proses belajar mengajar dengan normal.

Daud Jella Bing tidak putus asa memperjuangkan hak anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan. Tanggal 24 April 2018 dia kembali melaporkan pihak sekolah ke Polsek Maulafa, terkait diskriminasi ketiga anaknya.

Pada 24 Agustus 2018 mereka ditelepon penyidik Polsek Maulafa untuk datang ke kantor. Dalam pertemuan tersebut, Daud mengaku diminta penyidik untuk mencabut laporan kasus diskriminasi yang sedang ditanganinya. Penyidik beralasan kasihan pada pelaku, karena nanti hukuman kepada guru maupun kepala sekolah sangat berat.

"Yang jadi pertanyaan kami orangtua, siapa yang nanti kasihan kepada kami korban? Trus penyidik itu berkata lagi, kalau tidak cabut laporan nanti bikin capai diri, buang waktu, pekerjaan dan tenaga. Bahkan kami dilarang untuk minta perlindungan hukum dari P2TP2A," ceritanya kembali.

Daud juga mengaku, tanggal 19 Mei 2020 dia bersama anaknya kembali diperiksa. Mereka disuruh tanda tangan oleh penyidik namun disodorkan BAP korban, yang dibuat berlaku surut tertanggal 4 Mei 2019.

"Kami dipaksa harus tanda tangan sehingga kami tanya mengapa BAP korban yang dibuat tahun lalu dan sudah ditandatangani, dibuat ulang berlaku surut yang isinya membuat ragu. Penyidik menjawab BAP korban yang dibuat 4 Mei 2019, telah hilang di tempat foto copy," ungkap Daud.

Daud pun mengadukan peristiwa yang dialaminya ke Propam Polda NTT pada 1 Agustus 2019, terkait pemaksaan korban mencabut laporan, dilarang didampingi oleh perlindungan anak oleh Kapolsek, BAP diskriminasi dihilangkan penyidik, penerapan pasal 77 huruf A UU Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 tentang aborsi, yang dipakai dalam kasus diskriminasi, serta penghilangan pasal 9 ayat 1 UU Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 tentang hak anak mengikuti pendidikan, sesuai SP2HP.

Namun karena tidak cukup bukti dan tidak ditemukannya pelanggaran penyidik dalam menangani perkara diskriminasi anak, sesuai surat Kabid Propam Polda NTT maka maka kasus tersebut dihentikan. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh mantan Kabid Propam, namun tidak ada tembusan kepada Kapolda, Wakapolda, Irwasda, Karo SDM, Direskrimum maupun Kabidkum Polda NTT.

Menurut Daud, 10 November 2020 kasus diskriminasi terhadap ketiga anaknya digelar di Reskrimum Polda NTT dan tetap memakai pasal aborsi anak. Sedangkan pasal 9 ayat 1 UU perlindungan anak dihilangkan dalam BAP.

Penyidik Reskrimum Polda NTT juga telah mengirim SPDP ke Kejaksaan Tinggi NTT, pada 25 Januari 2021 lalu, namun berkas perkaranya tidak pernah dikirim. Jaksa telah melakukan penagihan namun tidak pernah direspons penyidik.

"Tanggal 17 Mei 2021 kami mendapatkan surat dari Direskrimum Polda NTT tentang pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan. Dalam surat itu menerangkan bahwa hasil gelar perkara 13 April 2021 direkomendasikan proses penyidikan dihentikan, karena tidak cukup bukti padahal SPDP yang dikirim masih berada di Kejaksaan Tinggi," jelas Daud.

Saat bersama tim kuasa hukum dari LBH Surya ke Kejaksaan Tinggi, dijelaskan bahwa jaksa menerima SPDP perkara namun berkasnya tidak pernah dinaikkan oleh penyidik ke Kejaksaan Tinggi.

Pihak Kejaksaan Tinggi telah menagih berkas perkara tersebut tapi tidak direspon oleh penyidik Reskrimum Polda NTT, sehingga pada akhir Mei 2021, SPDP dikirim kembali ke penyidik dengan catatan diperbaiki untuk dinaikkan kembali.

Ingin mendapatkan keadilan terhadap kasus diskriminasi yang dialami oleh anak-anaknya, Daud didampingi kuasa hukum, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) NTT dan Peksos, melakukan praperadilan Polda NTT yang telah didaftarkan pada 5 April 2022 kemarin, di Pengadilan Negeri Kupang.

"Sidang pertama telah dilakukan tanggal 12 April kemarin namun tidak dihadiri pihak Polda NTT. Sidang kedua sudah dilakukan dan dihadiri penyidik. Hari ini sidang ketiga," tambah Daud.

Dia mengambil langkah hukum pra peradilan, dengan harapan kasus ini menjadi terang benderang, sehingga keadilan bisa ditegakkan.

"Kami tidak ada kepentingan lain, selain keadilan bagi anak-anak kami. Kami berharap Kapolda bahkan Kapolri mengetahui hal ini," tutup Daud.
Share:
Komentar

Berita Terkini